Top Label

Jejak di Pasir

Di suatu tempat di pesisir Sumatra, tersembunyi sebuah desa kecil yang nyaris terlupakan oleh dunia. Desa Tanjung Sari, demikian namanya, adalah desa nelayan yang sunyi, jauh dari keramaian kota, tempat di mana kehidupan sehari-hari berjalan dengan lambat dan damai. Masyarakat di sana hidup bergantung pada laut, sama seperti leluhur mereka sejak zaman dahulu.


Jejak di Pasir
Ilustrasi (Sumber:Koleksi Dok Pribadi)


Pak Ahmad, seorang nelayan berusia 65 tahun, adalah salah satu dari segelintir orang yang masih bertahan di desa itu. Dia adalah sosok yang dihormati oleh warga desa, karena pengalamannya yang luas dan ketegarannya menghadapi gelombang kehidupan. Di balik wajah tuanya yang keras, tersimpan banyak cerita tentang laut, tentang badai yang mengancam nyawa, dan tentang misteri-misteri yang hanya diketahui oleh mereka yang akrab dengan samudra.


Pada suatu sore yang sepi, setelah seharian melaut, Pak Ahmad mendapati sesuatu yang aneh di pantai. Seperti biasa, dia menarik perahunya ke tepi, pasir yang lembut di bawah kakinya meninggalkan jejak-jejak kakinya yang lelah. Namun, di tengah tarikan nafasnya yang berat, ia melihat jejak lain, bukan miliknya, di pasir yang basah.


Jejak itu besar, jauh lebih besar daripada ukuran kaki manusia, dan hanya ada satu baris jejak. Pak Ahmad berdiri tegak, mengamati jejak itu dengan seksama. Ada sesuatu yang tidak biasa pada jejak itu, bentuknya aneh, dengan tanda-tanda yang lebih mirip cakar daripada kaki manusia.


"Siapa yang bisa meninggalkan jejak seperti ini?" batinnya.


Ia mencoba membandingkan jejak itu dengan kakinya sendiri, lalu dengan kaki-kaki binatang yang mungkin pernah ia lihat di hutan sekitar. Namun, tak ada yang serupa. Jejak itu mengarah langsung ke laut, seakan-akan makhluk itu muncul dari air dan berjalan ke daratan, atau sebaliknya. Yang lebih membingungkan, jejak itu tidak berpasang, hanya ada satu baris, seolah-olah makhluk tersebut melangkah dengan satu kaki saja.


Rasa penasaran menggerogoti Pak Ahmad. Dia mulai mengikuti jejak itu, perasaan aneh menyelimuti dirinya. Setiap langkah yang diambilnya semakin mendekatkannya pada lautan yang berkilau di bawah sinar matahari yang mulai tenggelam. Jejak itu semakin dalam, semakin besar, dan pada akhirnya menghilang begitu saja di bibir pantai, tenggelam dalam gelombang kecil yang menyapu pasir.


Pak Ahmad berdiri di tepi air, hatinya berdebar keras. Ia sudah melaut selama puluhan tahun, namun tak pernah sekalipun menemukan sesuatu yang begitu aneh. Ketika angin malam mulai berembus lebih kencang, seolah membawa bisikan dari lautan, Pak Ahmad memutuskan untuk kembali ke desanya.


Malam itu, Pak Ahmad tak bisa tidur. Ia duduk di beranda rumah kayunya yang menghadap ke laut, memandang jauh ke kegelapan. Bayangan jejak di pasir itu terus menghantui pikirannya. Mungkinkah itu jejak binatang yang belum pernah dilihatnya? Atau sesuatu yang lebih mengerikan?


Desa Tanjung Sari adalah desa kecil, tapi penuh dengan cerita mistis yang diturunkan dari generasi ke generasi. Ada kisah tentang makhluk-makhluk laut yang muncul di malam hari, roh-roh yang menjaga pantai, hingga legenda tentang kapal-kapal hantu yang membawa kutukan. Namun, bagi Pak Ahmad, semua itu hanyalah cerita untuk menakuti anak-anak, hingga malam itu, ketika ia sendiri menyaksikan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.


Esok paginya, ia memutuskan untuk memberitahukan temuannya kepada beberapa tetua desa. Mereka berkumpul di warung kopi kecil yang biasa mereka kunjungi setiap pagi. Warung itu terletak di pusat desa, di bawah pohon besar yang menaungi atapnya dari sengatan matahari.


"Jejak besar, hanya ada satu baris, dan menghilang di laut?" tanya Pak Hamid, seorang tetua desa yang usianya hampir sama dengan Pak Ahmad, sambil menyeruput kopi hitam pekat dari cangkir tanah liat.


Pak Ahmad mengangguk, ekspresinya serius. "Aku tak pernah melihat jejak macam itu seumur hidupku, aneh sekali"


Pak Hamid terdiam sejenak, menatap jauh ke arah laut yang terlihat samar di kejauhan dari warung itu. "Kita harus hati-hati, Ahmad. Mungkin ini pertanda."


"Pertanda apa?" tanya seorang nelayan muda yang mendengarkan percakapan mereka. Wajahnya penuh rasa ingin tahu, tapi juga diliputi kecemasan.


"Di zaman dulu," Pak Hamid mulai bercerita, "leluhur kita percaya bahwa ada makhluk-makhluk dari laut yang kadang-kadang naik ke daratan. Mereka tidak suka dilihat, dan jejak mereka adalah peringatan."


Pak Ahmad menatap temannya itu dengan cermat. "Kau percaya pada cerita lama itu, Hamid?"


Pak Hamid hanya mengangkat bahu. "Entahlah, Ahmad. Tapi sejak dulu, kita diajarkan untuk tidak mengabaikan tanda-tanda dari alam."


Mereka terdiam sejenak, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Suara riuh rendah desa di pagi hari menjadi latar belakang yang kontras dengan keheningan di antara mereka.


Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat, tapi bayangan jejak itu tak pernah meninggalkan benak Pak Ahmad. Setiap kali dia kembali ke pantai, dia selalu memeriksa apakah ada jejak baru, tapi pasir tetap kosong. Penduduk desa mulai melupakan ceritanya, menganggap itu hanya khayalan seorang pria tua yang terlalu lelah. Namun, Pak Ahmad tahu apa yang ia lihat. Dan firasat buruk terus menggerogoti hatinya.


Hingga suatu malam, beberapa hari setelah pertemuan di warung kopi, suara aneh mulai terdengar di seluruh desa. Suara itu muncul dari arah laut, terdengar seperti desahan angin, tapi lebih berat, seperti bisikan yang mengambang di udara. Orang-orang terbangun dari tidur mereka, mencoba mencari sumber suara tersebut. Suara itu datang dan pergi, membuat penduduk desa merasa tak nyaman, seolah-olah ada sesuatu yang tak terlihat mengintai mereka.


Pak Ahmad, yang sudah terjaga sejak sore, berdiri di depan rumahnya, mengamati lautan yang gelap. Suara itu seolah memanggilnya, mengundang rasa ingin tahunya yang mendalam. Tapi bersamaan dengan itu, rasa takut yang tak terjelaskan mulai tumbuh di dalam dirinya. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang sebenarnya ia lihat di pantai beberapa hari lalu?


Malam itu, tak ada yang bisa tidur dengan nyenyak. Dan ketika fajar menyingsing, desa Tanjung Sari diselimuti ketakutan yang tidak biasa. Jejak-jejak baru ditemukan di pantai, kali ini lebih banyak, dan lebih jelas. Bentuknya masih sama, cakar besar yang mencengkeram pasir basah, dengan ukuran yang tak manusiawi. Namun kali ini, jejak itu tidak hanya menuju ke laut, tapi juga ke arah desa, meninggalkan bekas yang dalam di sepanjang pantai.


Pak Ahmad, bersama beberapa nelayan lainnya, mengamati jejak-jejak itu dengan wajah tegang. Rasa takut semakin nyata ketika mereka menyadari bahwa jejak itu menuju langsung ke arah desa, tepat ke arah tempat mereka berada. Mereka memutuskan untuk mengikuti jejak itu, berharap menemukan jawaban atas apa yang sedang terjadi.


Mereka berjalan menyusuri jejak yang semakin jelas menuju hutan kecil di tepi desa. Pepohonan lebat mulai menutupi sinar matahari, menciptakan bayangan gelap yang menambah suasana tegang. Suara burung dan serangga yang biasa terdengar di hutan itu sekarang sunyi, seakan-akan alam pun menahan napas menunggu sesuatu yang tak terduga.


Ketika mereka sampai di tengah hutan, jejak itu tiba-tiba menghilang. Pasir berganti dengan tanah yang keras, dan jejak kaki tak lagi terlihat. Namun, ada sesuatu yang lebih mengerikan yang mereka temukan di sana. Di tengah hutan, di sebuah tanah yang datar, mereka menemukan sisa-sisa binatang, kambing dan ayam, dengan tubuh yang robek-robek. Darah yang sudah mengering di sekitar tempat itu menunjukkan bahwa hewan-hewan itu tidak mati karena predator biasa. Tidak ada tanda-tanda gigitan, hanya robekan besar dan bekas cakar yang serupa dengan jejak di pantai.


Pak Ahmad merasa mual. Sesuatu yang sangat salah sedang terjadi di desa ini, dan dia merasa bertanggung jawab karena dialah yang pertama kali menemukan jejak itu. Namun, sebelum dia sempat mengatakan apapun, salah satu nelayan yang ikut bersamanya berteriak ketakutan.


Mereka semua menoleh dan melihat sesuatu yang mengerikan. Dari balik pepohonan, di antara bayang-bayang, sepasang mata merah menyala menatap mereka. Mata itu besar, jauh lebih besar dari mata manusia, dan bersinar dalam kegelapan.


Teror menyebar di antara mereka. Para nelayan itu mulai mundur perlahan, sementara Pak Ahmad berdiri membeku. Mata itu tidak bergerak, hanya menatap mereka dengan intens. Lalu, tanpa peringatan, sosok besar muncul dari balik pepohonan, makhluk hitam bersisik dengan cakar yang panjang dan tajam, sama persis seperti yang terlihat di jejak-jejak di pantai.


Makhluk itu mengeluarkan suara geraman rendah, suara yang membuat bumi bergetar. Para nelayan lari terburu-buru ke arah desa, meninggalkan Pak Ahmad yang hanya bisa berdiri dan menyaksikan makhluk itu. Dalam sekejap, makhluk itu menghilang kembali ke hutan, menyisakan keheningan yang mencekam.


Pak Ahmad tahu dia harus kembali ke desa dan memberi tahu yang lainnya tentang apa yang ia lihat. Namun, ketika dia kembali, semua orang sudah mengetahui tentang penemuan tersebut. Berita tentang makhluk dari laut yang menyerang hutan tersebar cepat di desa. Warga desa mulai merasa terancam, dan mereka berkumpul untuk membahas apa yang harus dilakukan.


Tetua desa memutuskan untuk mencari bantuan dari orang luar, seorang paranormal yang dikenal bisa berkomunikasi dengan roh. Mereka berharap orang tersebut bisa memberikan penjelasan atau mungkin cara untuk menghadapi ancaman ini. Sementara itu, Pak Ahmad dan beberapa orang lain tetap berjaga-jaga di sekitar pantai dan hutan, siap menghadapi apa pun yang mungkin datang.


Malam demi malam berlalu dengan ketegangan. Suara-suara aneh terus terdengar, dan setiap kali seseorang mencoba mendekati pantai atau hutan, jejak itu muncul lagi, sekarang semakin dekat dengan desa, bahkan sampai ke depan rumah-rumah penduduk.


Kehidupan di Desa Tanjung Sari berubah drastis. Ketakutan menguasai setiap individu, dan aktivitas sehari-hari terhenti. Semua orang menunggu kedatangan paranormal yang diharapkan bisa memberikan jawaban atau solusi.


Akhirnya, seorang pria tua dengan jubah hitam tiba di desa. Dia diperkenalkan sebagai Ki Agus, seorang paranormal terkenal yang dikenal memiliki pengetahuan tentang makhluk halus dan kekuatan supernatural. Ki Agus segera melakukan ritual pembersihan dan melakukan komunikasi dengan roh-roh untuk mencari tahu lebih banyak tentang ancaman yang mengintai desa.


Selama beberapa hari, Ki Agus mengamati jejak-jejak di pantai, hutan, dan bahkan berbicara dengan beberapa penduduk desa tentang pengalaman mereka. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang sangat kuat dan kuno yang terbangun, sesuatu yang telah lama tertidur di laut dan kini terbangun kembali.


Pada malam hari yang kelima, Ki Agus melakukan ritual besar di pantai. Dia menggambar simbol-simbol kuno di pasir, menggunakan rempah-rempah dan dupa yang membakar aroma yang menyengat. Sementara itu, Pak Ahmad dan warga desa berkumpul di jarak aman, menonton dengan cemas.


Ritual itu berlangsung hingga tengah malam, dan suasana malam terasa sangat tegang. Tiba-tiba, suara geraman terdengar dari arah laut. Gelombang besar menghantam pantai, dan makhluk besar yang sama muncul lagi, kali ini dengan lebih jelas dan lebih menakutkan. Ki Agus tidak terpengaruh, tetap fokus pada ritualnya.


Ketika makhluk itu semakin dekat, Ki Agus mulai mengucapkan mantra-mantra yang kuat, sementara cahaya dari dupa menyala terang. Makhluk itu tampak semakin gelisah, berusaha menghindari cahaya dan suara dari ritual tersebut. Dalam pergulatan antara Ki Agus dan makhluk itu, tiba-tiba makhluk itu mengeluarkan teriakan keras dan melompat kembali ke laut, menghilang dalam kegelapan.


Suasana kembali tenang, dan Ki Agus menghentikan ritualnya. Warga desa merasa lega, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak boleh lengah. Meskipun makhluk itu tampaknya telah pergi untuk saat ini, mereka harus tetap waspada.


Pak Ahmad merasa sedikit lega tetapi masih merasa ada sesuatu yang belum selesai. Jejak di pasir, suara-suara misterius, dan makhluk besar itu masih menjadi misteri. Ki Agus memberikan pesan kepada penduduk desa bahwa makhluk itu adalah entitas kuno yang sangat kuat, dan mereka harus menjaga pantai dan hutan agar tetap bersih dari gangguan, serta menghormati alam sebagai bentuk peringatan dan perlindungan.


Desa Tanjung Sari kembali tenang, namun setiap kali Pak Ahmad melintasi pantai atau hutan, dia selalu memperhatikan jejak-jejak itu dengan hati-hati. Meskipun makhluk itu tidak lagi terlihat, Pak Ahmad tahu bahwa ancaman mungkin belum sepenuhnya berlalu. Jejak di pasir akan selalu menjadi pengingat akan kekuatan alam yang tidak bisa mereka kontrol, dan bahwa kadang-kadang, ada hal-hal di luar pemahaman manusia yang harus dihormati dan diwaspadai.


Kreator: Ervan Yuhenda

#Fiksi#Ragam
10 September 2024 Last Updated 2024-11-15T16:19:08Z
Komentar

Tampilkan